Penulis: Kak Listari
Pak/Mbok, aku
budhal ngaji (Bapak/ibu, saya berangkat mengaji). Begitu pamitku kepada ayah
dan ibuku. Setiap sore menjelang magrib, aku berpamitan kepada orang tua untuk
ngaji TURUTAN (kitab dasar untuk anak yang baru belajar ngaji). Saat itu usiaku
baru sekitar enam tahunan. Aku memang rajin pergi ke LANGGAR (surau), tak
peduli hujan atau becek sekalipun, aku tetap berangkat ngaji. Jika gerimis
turun, ayah atau ibukku mengambilkan satu daun pisang untuk aku jadikan
pelindung (pengganti payung). Jika jalanan becek, sandal aku tenteng di tangan.
Istilahnya NYEKER (berjalan tanpa alas kaki). Jika cuaca cerah, aku sering
berangkat lebih awal. Dengan tujuan bisa bermain lebih dulu. Di halaman surau,
aku sudah di tunggu teman-teman sebayaku, (maaf gak pakai mbak) ada Mutmainah,
Siti Aminah dan masih banyak lagi.
Pernah suatu hari,
sebelum tiba sholat magrib, aku dan teman-teman OBAK DELIKAN (bermain petak umpet). Sasaran untuk
sembunyi aku pilih di bawah kolong surau. Saat itu bangunan surau seperti rumah
panggung, jadi ada ruang atau rongga di bawahnya. Aman bagiku untuk sembunyi
dibawahnya, karena badanku yang mungil. Singkat cerita, waktu sholatpun tiba.
Seperti biasa, aku ambil wudhu dan bergegas masuk surau. Ketika aku
melangkahkan kaki naik ke surau, beberapa temanku teriak, "Uler,
Uler," sambil menunjuk ke arah kerah bajuku yang berwarna putih saat itu.
Kontan aku kaget dan berusaha menepiskan tangan kiriku ke arah kerah baju,
sambil menoleh, aku lihat seekor ULER GENI (ulat berbulu hitam), sebesar ibu
jari sedang bertengger di pundak ku. Ya Allah, takut campur jijik aku dibuatnya.
Sejak saat itu aku takut sana ulat.
Masih di tempat yang sama di surau yang berkah, Listari kecil juga sering usil. Usil yang ini tak pernah aku lupakan. Ketika sholat magrib berjalan, aku berada persis di sebelah kiri Dhe Nyamirah (alm), dan saat itu sedang duduk diantara sujud. Pada awalnya aku tidak sengaja jika kaki kananku tertindih pantat DheYam. Seharusnya, duduk antara dua sujud berikutnya, kakiku harus ditata agar tidak tertindih yang kedua. Namun saat itu rasa usilku tiba, justru saat duduk takiyat pertama, kakiku aku selonjorkan lebih panjang lagi biar tertindih. Dan juga takiyat akhir, makin panjang lagi, kaki ku selonjorkan. Alhasil DheNyam tidak nyaman dengan keusilanku. Selesai salam, sedikit omelan aku dapatkan dari beliau. Yach...... karena aku salah, cukup diam seribu bahasa. (Al-fathehah untuk beliau, semoga Husnul khotimah)
Lies 5-12-20
No comments:
Post a Comment